Kamis, 18 Juni 2009

Eig. Verp / Kikitir Padjeg Boemi Persil No. 527

BUKTI KEPEMILIKAN LAHAN


Eig. Verp / Kikitir Padjeg Boemi

Persil No. 527

(Telah di Konversi menjadi Hak Milik Adat)



ATAS NAMA :

(NAAMLOOZE VENNOOTSCHAP) NO. 16. AN :

N.V. MAATSCHAPPIJ TOT EXPLOITATIC VAN VOONHUIZEN (BLOMKRING)/NJIMAS ENTJEH SITI AMINAH (OSAH) ALIAS JUSTINA REIGENT JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN



LOKASI :

Desa Manyar Sido Rukun

Gresik – Jawa Timur



Dahulu digarap oleh :

Kotapraja, sebagian oleh Penggarap (Masyarakat)

Terbit HGB Cacat Hukum

SEKARANG TERLANTAR







Oleh

NJIMAS ENTJEH FOUNDATION

JAKARTA

Eigendom. Verponding 6935 Seb / Kikitir Padjeg Boemi Persil No. 8, 14 dan 19 A-D

BUKTI KEPEMILIKAN LAHAN


Eigendom. Verponding 6935 Seb / Kikitir Padjeg Boemi

Persil No. 8, 14 dan 19 A-D

(Telah di Konversi menjadi Hak Milik Adat)

Luas : 200.390 M2




ATAS NAMA :

(NAAMLOOZE VENNOOTSCHAP) NO. 16. AN :

N.V. MAATSCHAPPIJ TOT EXPLOITATIC VAN VOONHUIZEN (BLOMKRING)/NJIMAS ENTJEH SITI AMINAH (OSAH) ALIAS JUSTINA REIGENT JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN



LOKASI :

KELURAHAN SENAYAN

Kecamatan Kebayoran Baru (d/h Senajan–Kebajoran)

Jakarta Selatan




DAHULU DIGARAP OLEH :

KOTAPRADJA, Seb digarap Tojib bin Kiming

Dan terbit HGB Cacat Hukum

SEKARANG TERLANTAR






Oleh

NJIMAS ENTJEH FOUNDATION

JAKARTA

EIGENDOM. VERPONDING / Kikitir Padjeg Boemi Persil No 8401, 6966, 7660 Seb

B U K T I

KEPEMILIKAN LAHAN




EIGENDOM. VERPONDING / Kikitir Padjeg Boemi

Persil No 8401, 6966, 7660 Seb

( Telah di Konversi menjadi Hak Milik Adat )

dengan lahan yang terlantar 3,6 Ha



ATAS NAMA

(NAAMLOOZE VENNOOTSCHAP) NO 16. an :

N.V. MAATSHAPPIJ TOT EXPLOIITATIC VAN

VOONHUIZEN (BLOOMKRING) / NJIMAS ENTJEH

SITI AMINAH (OSAH) alias JUSTINA REIGENT

JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN



LOKASI

Kelurahan Kuningan Barat

Kecamatan Mampang Prapatan – Jakarta Selatan



Dahulu digarap oleh :

Kotapraja, sebagian digarap Abu Bakar

Terbit HGB Cacat Hukum

SEKARANG TERLANTAR




Oleh

Njimas Entjeh Foundation

Jakarta

EIGENDOM. VERPONDING / Kikitir Padjeg Boemi Persil No 5725

B U K T I

KEPEMILIKAN LAHAN




EIGENDOM. VERPONDING / Kikitir Padjeg Boemi

Persil No 5725

( Telah di Konversi menjadi Hak Milik Adat )

Seluas sekitar 1.146.663 M2




ATAS NAMA

(NAAMLOOZE VENNOOTSCHAP) NO 16. an :

N.V. MAATSHAPPIJ TOT EXPLOIITATIC VAN

VOONHUIZEN (BLOOMKRING) / NJIMAS ENTJEH

SITI AMINAH (OSAH) alias JUSTINA REIGENT

JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN





LOKASI

S U N T E R – TANJUNG PRIOK

JAKARTA UTARA



DAHULU DIGARAP OLEH :

KOTAPRAJA, SEBAGIAN DIMANFAATKAN OLEH

PENGGARAP DAN TERBIT HGB YANG CACAT HUKUM

SEKARANG TERLANTAR




Oleh

Njimas Entjeh Foundation

EIG. VERP / Kikitir Padjeg Boemi Persil No 9254 Seb

B U K T I

KEPEMILIKAN LAHAN




EIG. VERP / Kikitir Padjeg Boemi

Persil No 9254 Seb

( Telah di Konversi menjadi Hak Milik Adat )

Seluas sekitar 7.762 M2




ATAS NAMA

(NAAMLOOZE VENNOOTSCHAP) NO 16. an :

N.V. MAATSHAPPIJ TOT EXPLOIITATIC VAN

VOONHUIZEN (BLOOMKRING) / NJIMAS ENTJEH

SITI AMINAH (OSAH) alias JUSTINA REIGENT

JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN




LOKASI

PASAR BARU

Kecamatan Sawah Besar

Jakarta Pusat



Dahulu digarap oleh :

KOTAPRAJA,

Kemudian Terbit HGB Cacat Hukum

SEKARANG TERLANTAR




Oleh

Njimas Entjeh Foundation

EIGENDOM. VERPONDING NO. 4799, 20859


BUKTI KEPEMILIKAN


BUKTI KEPEMILIKAN

EIGENDOM. VERPONDING NO. 4799, 20859

KAMPUNG KARANG KITRI (DAHULU) - BEKASI


ATAS NAMA :

(NAAMLOOZE VENNOOTSCHAP) NO. 16. AN :

N.V. MAATSCHAPPIJ TOT EXPLOITATIC VAN VOONHUIZEN (BLOMKRING)/NJIMAS ENTJEH SITI AMINAH (OSAH) ALIAS JUSTINA REIGENT JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN





LOKASI :

KP. KARANG KITRI, KP. RAWA SEMUT (SEKARANG KEL. MARGAHAYU BEKASI

JAWA BARAT.

LUAS : ± 194.1210 Ha

DAN DIGARAP OLEH : (DAHULU)

KOTAPRADJA DAN SEBAGIAN DIGARAP OLEH

MAAT SCHAPPIJ TOT

REYENEN ANDERE VASTIGH

EDEN TAN KENG TIONG

DAN SEKARANG BANYAK TIMBUL HGU, HGB DAN SEBAGIAN DIGARAP OLEH MASYARAKAT DAN TERLANTAR








Oleh

Yayasan keluarga besar ahli waris

Njimas Entjeh Siti Aminah (Osah) Alias

Justina Reigent John Hendry Van Bloomestein

KAMPUNG KARANG KITRI (DAHULU) - BEKASI


ATAS NAMA :

(NAAMLOOZE VENNOOTSCHAP) NO. 16. AN :

N.V. MAATSCHAPPIJ TOT EXPLOITATIC VAN VOONHUIZEN (BLOMKRING)/NJIMAS ENTJEH SITI AMINAH (OSAH) ALIAS JUSTINA REIGENT JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN





LOKASI :

KP. KARANG KITRI, KP. RAWA SEMUT (SEKARANG KEL. MARGAHAYU BEKASI

JAWA BARAT.

LUAS : ± 194.1210 Ha

DAN DIGARAP OLEH : (DAHULU)

KOTAPRADJA DAN SEBAGIAN DIGARAP OLEH

MAAT SCHAPPIJ TOT

REYENEN ANDERE VASTIGH

EDEN TAN KENG TIONG

DAN SEKARANG BANYAK TIMBUL HGU, HGB DAN SEBAGIAN DIGARAP OLEH MASYARAKAT DAN TERLANTAR








Oleh

Yayasan keluarga besar ahli waris

Njimas Entjeh Siti Aminah (Osah) Alias

Justina Reigent John Hendry Van Bloomestein

D A S A R H U K U M K E P E M I L I K A N KELUARGA BESAR NJIMAS ENTJEH SITI AMINAH (Osah)

D A S A R H U K U M K E P E M I L I K A N

KELUARGA BESAR

NJIMAS ENTJEH SITI AMINAH (Osah)

Alias MEVRAU JUSTINA REIGENT

JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN


Mengupas Tuntas kasus Pertanahan berdasarkan Fakta Hukum ”


Materi ini merupakan kajian mendalam mengurai kasus hukum pertanahan Indonesia yang telah menjadi ‘momok’ dikalangan komunitas hukum khususnya dan masyarakat umumnya, terjadinya permasalahan ini

berkaitan erat dengan di’kotomi’nya hak - hak rakyat sebagai objek penderita,

akibat kultur birokrasi yang menyisihkan aturan ‘moral ethik’ dalam

produk kebijakan tanpa menggunakan kaidah hukum yang berlaku.

Dengan mengatas namakan hukum dan keadilan untuk semua,

Keluarga Besar Njimas Entjeh Siti Aminah sebagai salah satu korbannya

melalui mekanisme prosedural hendak mengajak semua pihak

melakukan aksi moral dalam memerangi praktek

manipulatif yuridis pertanahan demi terbangunnya

dialektika ‘fair play’ kebijakan yang ber’sinergi’ dengan

esensi keadilan.


MAKSUD DAN TUJUAN


Pembangunan hukum di wilayah pertanahan semestinya menekankan sasaran dalam membina sikap mental pelaku birokrat dan mengkondisikan piranti hukum sesuai dengan kemurnian maksud atas dilahirkannya Undang Undang, disisi lain adanya kemauan melekatkan ketertiban hukum di tengah masyarakat yakni dengan mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan, dan dihargainya hak kepemilikan rakyat sesuai koridor hukum maupun aturan moral yang berlaku. Hal inilah yang menurut hemat kami harus mendapatkan skala prioritas, mengingat timbulnya tumpang tindih kepemilikan (sertifikat ganda)selama ini sudah sedemikian meresahkan kita semua. Secara akumulatif kasus pertanahan ini tidak dapat dihitung lagi berapa persisnya, namun dengan sekedar menyuarakan opini lewat media ataupun mimbar dialogis, diskusi, seminar dan semacamnya tidak akan menghentikan dialektika kekusutan yang sangat tidak manusiawi ini. Perlunya kita bangun kebersamaan sikap dalam merumuskan siasat yang akseleratif dan kontekstual dengan memancangkan tekad aksi yang mampu menerobos pusat nurani aparatlah kiranya dapat mencapai hasil yang paling konkrit.


Dilatar belakangi kenyataan oleh terabaikannya hakekat kemanusiaan dalam aspek hukum pertanahan terutama dengan lahirnya kerancuan hak kepemilikan yang disebabkan oleh ketidak tertiban administrasi dan terutama unsur manusia sebagai sumber dari inti masalah, hendaklah menjadi pemacu kebersamaan kita untuk mengurai benang kusut ini menjadi karya anak bangsa sekarang demi anak cucu kita nanti, mengingat mendiamkan perilaku yang lari dari roh kemanusiaan ini tidak sekedar dosa kita pada Allah namun juga kepada segenap anak keturunan kita.


Melalui konsep ini kami serukan: “Mari bangkit dari tidur panjang kita yang telah mendiamkan persoalan bangsa yang sangat memprihatinkan ini” agar dipecahkan demi membangun ahlak bangsa dan atau kharakter kebangsaan (character building) yang ‘sehatjasmani rohani serta dalam rangka meningkatkan harkat martabat dalam berbangsa dan bernegara. Untuk itulah melalui konsepsi ini kami mengetuk hati kepada:


1. Pemerintah Republik Indonesia dan Lembaga Tinggi Negara

Yaitu kepada seluruh Pejabat/Instansi yang terkait dengan permasalahan pertanahan, kami mengharapkan kesadarannya untuk melakukan perubahan sikap mental yang selaras

-2-

dengan nilai nilai dasar kemanusiaan dalam mensikapi kasus yang timbul akibat kesalahan kebijakan oknum pejabat yang terdahulu dan merubah perilaku yang me’lenceng’ jauh dari segi keadilan. Mengingat kebijakan yang ‘sesat’ oleh Pemerintahan yang lalu adalah juga menjadi tanggung jawab moral Pemerintah sekarang, Hak hak Rakyat yang telah diakui secara hukum harus dihormati sesuai kadar kemanusiaan yang melekat terhadap perjuangannya dalam memperoleh haknya tersebut. Pembelaan dalam dimensi perlindungan hak rakyat adalah bagian integral dari tanggung jawab Pemerintah sebagai ‘police state’ karena dibelahan dunia manapun ketentuan tersebut menjadi budaya dan strategi politik maupun tanggung jawab Pemerintah, apalagi dalam kaitannya sebagai Negara Hukum yang berdaulat adil dan makmur, dimana hak rakyat pun harus memiliki kedaulatan yang harus diayomi sesuai norma keadilan dan aturan hukum yang berlaku.


Kita masih ingat terjadinya Revolusi rakyat Indonesia atas:

a. Kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1945 dari belenggu penjajahan

b. Kejatuhan Pemerintahan Ir. Soekarno, tahun 1965, yang memiliki esensi dalam ketidak

mampuannya untuk mengentaskan ambruknya perekonomian dan perpolitikan dalam

Negeri

c. Runtuhnya Dinasti Soeharto, tahun 1997, yang memiliki esensi aktual atas tuntutan

dilakukannya reformasi menyeluruh akibat dikebirinya hak azasi manusia dan

kegerahan rakyat atas ‘status quo’ yang totaliter ditambah semakin merajalelanya

korupsi yang melambangkan keserakahan dan bobroknya birokrasi

Hendaklah dijadikan penyadaran: “Betapa rakyat sangat muak dengan segala bentuk korupsi, kolusi, penindasan dan sistem yang meng’kangkangi’ hak hak rakyat”.


Kita sepakat untuk tidak terjadi revolusi lagi, sebagai akibat ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah yang tidak melakukan apapun dalam memenuhi tuntutan reformasi disegala bidang. Untuk itu melalui kesempatan ini kami mengingatkan sekaligus sebagai bentuk ‘seruan moral’ agar Pemerintah melakukan perombakan sikap mental birokrat untuk mengedepankan kepentingan rakyat terutama dalam wilayah pertanahan, yaitu pengembalian hak milik rakyat secara syah atas tanah yang telah di’klaim’ sebagai Milik Negara maupun terbitnya hak lain diatas objek tanah yang sama, sebagai akibat kesalahan kebijakan yang penuh aroma ‘uang’ ataupun pemutar balikan fakta hukum.


2. Praktisi Hukum Pertanahan

Sebagai sesama pemerhati sosial kemasyarakatan terutama dalam hukum pertanahan, kami mengajak para praktisi untuk bersatu membentuk Komisi Independen Bela Hukum Pertanahan (KIBHuP) yang membedakan dengan Wadah yang sudah ada terutama dalam melakukan pengkajian lebih mendasar terhadap pendalaman materi Kasus Pertanahan maupun gerakan moral kebangsaan yang bersifat independen ( tidak disetir kekuatan manapun ), melakukan gerakan revolusioner dan memiliki daya dobrak / menjelajah langsung hingga sarang para ‘penyamun’ yang selama ini menjadi borok dan biang kerok masalah pertanahan di Indonesia, kami menganggap situasi yang ‘begitu liar’ selama ini harus segera disikapi / diatasi dengan segera, demi tanggung jawab kita sebagai Insan Hukum yang ‘nota bene’ berada di ‘gardu keilmuan terdepan dalam penegakan Hukum Pertanahan di Bumi Nusantara ini.

Mengingat ketidak adilan di hukum pertanahan memiliki esensi pelanggaran terhadap hak azasi manusia, maka pen’canangan’ pembentukan gerakan ini juga hendak merujuk pada ketentuan Piagam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak Azasi Manusia dari hasil Konferensi tingkat tinggi sedunia, disamping itu terbinanya kerja sama secara koordinatif dengan Organisasi sejenis di belahan dunia lain akan memberikan sumbangsih dalam membentuk format / ‘proto type’ Wadah dimaksud yang ‘kredible’, ‘acceptable’ dan memiliki mobilitas dalam menyelesaikan aspek hukum yang diperjuangkan.


Kebersamaan sikap ini juga dilandasi kepentingan ‘logic’ atas ter’aniaya’nya hak rakyat yang sesungguhnya harus dihormati dan dibela namun akibat ‘serba’ ketidak berdayaannya maupun demikian tajamnya cengkeraman kekuatan lain (konspirasi jahat oknum pejabat dengan spekulan tanah berkantong tebal berhati kanibal), rakyat yang memang lemah terinjak injak pula harkat dan martabatnya. Semakin maraknya

-3-

persoalan ini telah mendudukan pada tercabiknya moralitas sebagai bangsa yang beradab bersendikan hukum, agar diangkat sebagai penggerak motivasi yang ‘magis’ untuk menyelami masalah disertai ke’gamangan’nya dalam merespon ajakan moral ini yang senafas dengan pertanggung jawaban kita sebagai Warga Negara yang memiliki kepentingan dalam mengangkat supremasi hukum atas terbinanya hakekat keilmuan yang telah kita dalami.

Dengan berpijak pada sedemikian esensialnya permasalahan yang dihadapi, maka kami merasa perlu melakukan pembahasan berikut ini sebagai bahan rujukan (‘study’ kasus) untuk mendapatkan tambahan pendalaman materi yang hendak kita rumuskan bersama.


FAKTA HUKUM I

(Pembelian Pertama)


Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada tahun 1870 di era Pemerintahan Hindia Belanda, diberlakukan Undang Undang ‘Agrarische Wet’ (AW) sebagai akibat desakan para pengusaha besar yang bergerak dibidang Agrobisnis, hal ini sejalan dengan semangat liberalisme yang berkembang, menuntut penggantian sistem monopoli Negara dan politik ‘cultur stelsel’ (kerja paksa) dengan sistem persaingan bebas dan sistem kerja bebas sesuai konsepsi kapitalisme liberal, disamping itu adanya nuansa kemanusiaan dari pemerhati sosial di Belanda atas situasi penderitaan sangat hebat dikalangan kaum tani di Indonesia.

Ketentuan pelaksanaan ‘AW’ ini diatur dalam bentuk Peraturan dan Keputusan, salah satunya apa yang dikenal sebagai ‘Agrarisch Besluit’ (diundangkan dalam S. 1870-118), dari Ketentuan inilah melahirkan hak Eigendom (kepemilikan), Erfpach (guna usaha), Opstal (guna bangunan), Ver huur (sewa), Concessie (untuk perkebunan besar) dsb.


Dalam pada itu tahun 1937-1940, Njimas Entjeh Siti Aminah (Osah) sebagai Warga Asli Pribumi melalui Perusahaan yang didirikan bernama NV. Bloomkring melakukan serangkaian pembelian (pertama) tanah Negara dalam bentuk ‘Hak Eigendom’ di beberapa lokasi atas perwujudannya dalam pemanfaatan dana yang dihimpun selama 25 tahun lamanya sebagai istri seorang Gubernur Jendral Pemerintahan Hindia Belanda yang kala itu dikalangan warga pribumi dikenal santun, bijak dan berjiwa sosial tinggi yang membedakannya dengan pejabat sebelumnya, bernama John Henry Van Bloomestein (seorang duda), keinginan mempersunting warga pribumi adalah sebagai perwujudan kedekatan dengan ‘aromakepribadian Indonesia.

Pelaksanaan pembelian tersebut semuanya telah disyahkan dan didaftarkan pada Kantor Overschrijvings Ambtenaar sesuai Overschrijvings Ordonnatie S. 1834-27 yang dipetakan kantor Kadaster menurut Peraturan Engelbrecht. Bukti kepemilikan tersebut ditandatangani oleh pejabat yang saat itu berwenang yakni Pieter Cornelis Nelson. Selanjutnya serah terima hak atas tanah (yuridische levering) dicatat pada Microchip DataARNAS (Arsip Nasional Belanda) dan sekarang dapat pula di cek kebenarannya di kantor Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Adapun bukti kepemilikan sebagai pengesahan atas pembelian (pertama) tanah dimaksud berupa: a. Acta Van Eigendom / Akta Hak Milik

b. Grosse Acta / Riwayat / Asal usul / Sejarah Tanah

c. Meetbrief Van Ner Parcel / Surat Ukur

d. Omschrijving / Data Uraian

e. Peta Eigendom


Sesuai bunyi pasal 570 KUUHPdt, ‘Eigendom’ memiliki arti sebagai Hak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan sesuatu benda dan untuk berbuat bebas tehadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan sepenuhnya. Dengan demikian adanya corak: kewenangan individual yang luas dan kuat, disamping memiliki sifat ‘pertuanan’ yang begitu istimewa juga bersifat kenegaraan / kebangsawanan (Land heerlijke rechten), hal inilah yang membedakan dengan jenis hak lainnya.

Pembelian tanah dimasud oleh Njimas Entjeh dilatar belakangi adanya keinginan untuk:

a. Dikelola sebagai lahan pekebunan dan pertanian terutama yang memiliki kesesuain sifat

tanaman dengan unsur tanah masing masing lokasi.

b. Memanfaatkan areal pertanian dalam memberdayakan kaum petani yang selama itu

menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup parah akibat perilaku kaum feodal yang lebih

-4-

bersikap sebagai ‘penghisap’ dari pada menghargai hak hak petani, hal demikian berbalik

arah dengan pola yang dikembangkan oleh Njimas Entjeh sebagai warga pribumi asli

yang memiliki pendekatan sosial kemasyarakatannya, berkehendak membuka lapangan

pekerjaan yang seluas mungkin dalam rangka peningkatan taraf hidup mereka melalui

sistem upah kerja diatas rata rata.

c. Memiliki lahan di wilayah perkotaan, semata mata untuk investasi jangka panjang dan

mempercayakan masyarakat sekitar untuk memanfaatkan sebagai areal pertanian

terbatas, agar dapat mencukupi kebutuhan keluarganya dari hasil panen yang bisa di

peroleh.

d. Memiliki tanah yang telah berdiri bangunan rumah / gedung untuk disewakan peminat

sebagai sarana perkantoran ataupun tempat tinggal, sementara dibeberapa lokasi ada

yang dimanfaatkan pihak lain tanpa diminta uang sewa.


FAKTA HUKUM II

(Bukti Verponding Indonesia)


Masa Kemerdekaan Republik Indonesia, Aset tanah milik Njimas Entjeh tetap tidak mengalami perubahan dalam pengelolaannya selama beberapa tahun kemudian mengingat sejak didirikan NV. Bloomkring memang memanfaatkan managerial warga asli pribumi dari kalangan berpendidikan Sekolah Rakyat (SR) sampai Perguruan Tinggi, sehingga hengkangnya Belanda maupun Jepang dari Ibu Pertiwi tidak memerlukan perubahan management apapun karena segala kebijakan sepenuhnya memiliki ‘roh’ Keindonesiaan yang melekat terhadap kepribadian Njimas Entjeh, apalagi sejak awal tahun 1940 pemegang hak warisnya H. Arifin yang juga sebagai anak satu satunya (anak angkat. lihat Kronologis Hak Waris Harta Peninggalan Njimas Entjeh, red) telah mengendalikan management sepenuhnya dengan kelekatan nuansa Nasionalisme yang dimilikinya.

Adanya ketentuan tentang pembayaran pajak hasil bumi (Verponding Indonesia) bagi pemilik lahan, sejak tahun 1948 Pewaris Harta Peninggalan Njimas Entjeh yang saat itu sudah diserahkan dan dikendalikan oleh anaknya bernama H. Zainal Asikin bin H. Arifin, senantiasa memenuhi Peraturan tersebut, betapapun pada awal diberlakukannya, secara umum para pemilik Aset Tanah belum terbina kesadarannya dalam membayar pajak yang menjadi Pilar Sumber Pendapatan Negara dalam membiayai jalannya roda Pemerintahan.


Sedemikian pentingnya penerimaan dari unsur fiskal ini bagi Negara yang sama sekali belum memiliki ‘fundamental’ ekonomi, mendorong jiwa Nasionalisme sejati seorang H. Zainal Asikin dalam usahanya mencari dana dari hasil pinjaman beberapa pihak dalam rangka membayar kewajiban kepada Negara untuk seluruh Aset tanah yang dimiliki. Perlu diketahui upaya mendapatkan keuangan tersebut diperoleh sebagian besar dari kredit Perbankan maupun Perseorangan / Pengijon dengan beban bunga yang cukup besar, hal itu dilakukan sepanjang tahun hingga diberlakukannya UUPA tahun 1960. Walaupun di banyak objek lahan yang memanfaatkan secara ekonomis adalah masyarakat sekitar (tanpa dipungut uang sewa sepersen pun, betapapun sangat memungkinkan untuk itu), sebagai buah perwujudan sikap sosial yang melekat kepada segenap keturunan Njimas Entjeh.


Perjuangan (dengan segala jerih payahnya) dalam membayar pajak hasil bumi ini menjadi kesatuan sikap patriotisme kebangsaan terhadap situasi keuangan Negara yang sangat memprihatinkan, hal tersebut didukung belum kondusifnya situasi keamanan nasional, akibat dunia perpolitikan yang penuh pergolakan sebagai pencerminan kekuatan kepentingan antar golongan dan faksi faksi penuh friksi di dalam masyarakat yang masih mencari bentuk di Negara yang baru terbebas dari belenggu penjajah. Namun sedemikian sulitnya dalam mendapatkan sumber keuangan untuk memenuhi iuran pajak, H. Zainal Asikin dapat melunasinya tepat waktu sesuai Ketentuan, hal ini dilakukan agar tetap mendapatkan ‘status’ Hak Kepemilikannya (struk bukti pembayaran masih tersimpan lengkap).


Atas kedisiplinannya sebagai penyumbang pendapatan Negara dari unsur pajak

yang cukup besar dan sangat berarti ini, H. Zainal Asikin

pernah mendapatkan pujian dari petinggi negara saat itu.

-5-

Struk bukti pembayaran pajak hasil bumi yang dibayarkan sebelum berlakunya UUPA merupakan bentuk Verponding Indonesia dan dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai dasar memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 maupun penggantinya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tercermin pada Pasal 24 Ayat 1:

Pembuktian hak hak atas tanah yang sudah ada dan berasal dari konversi hak hak lama, data yuridisnya dibuktikan dengan alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan ybs. yang kadar kebenarannya oleh panitia Ajudikasi / kepala kantor pertanahan dianggap cukup sebagai dasar mendaftar hak, pemegang hak dan hak hak pihak lain yang membebaninya.


Sementara penjelasan tentang alat bukti tertulis yang dimaksud dalam Pasal 24 Ayat 1 adalah:

k. Petuk pajak bumi / Landrente, girik, pipil, kikitir dan verponding Indonesia, sebelum

berlakunya PP 10 / 1961 ( ket: seharusnya sebelum berlakunya UUPA, karena sejak

berlakunya UUPA tidak dipungut lagi pajak hasil bumi)


FAKTA HUKUM III

(Pembelian Kedua)


Seusainya pemulihan kedaulatan Republik Indonesia akhir tahun 1948, munculah keinginan untuk menghilangkan nuansa kolonial dalam berbagai bidang, tanpa kecuali di bidang pertanahan, salah satunya adalah Hak Eigendom yang luasnya lebih dari 10 Ha (kelompok tanah partikelir), untuk dibeli lagi oleh Negara sesuai dengan anggaran yang tersedia, namun banyak menghadapi pertentangan dari pemilik tanah partikelir dalam soal harga yang ditetapkan Pemerintah karena dirasakan belum sesuai dengan jumlah pengorbanan yang telah dikeluarkan saat pembelian era Pemerintahan Hindia Belanda, betapapun demikian banyak yang merespon ketentuan tersebut karena dirasa sudah cukup mewadahi.. Agar kebijakan tersebut mendapat pijakan hukum yang kuat disertai perlunya penekanan kepada pemilik tanah partikelir, perlu didukung dengan Peraturan yang lebih mengikat, maka lahirlah Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir (tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau), dalam Pasal 8 Ayat 1 disebutkan:

Kepada pemilik tanah partikelir yang dimaksudkan dalam Pasal 3 diberikan ganti kerugian yang dapat berupa:

a. Sejumlah uang, berdasarkan perhitungan harga hasil kotor setahun, rata - rata selama

lima tahun terkhir sebelum 1942, dikurangi 40 % sebagai biaya usaha, kemudian

dikalikan angka 8,5


Perhitungan ganti rugi tersebut akan lebih mudah dipahami tentang besarnya nilai imbalan per hektar sawah, bila mengambil patokan kondisi sekarang ini yaitu:


Harga gabah Rp 3.000 (Nilai terendah/kg), panen 1 hektar 4.000 kg (rata rata), dalam setahun panen 2 kali, maka menghasilkan angka sbb:

3.000 X 4.000 X 2 X 60 % (100 % - 40 %) X 8,5 = Rp 122.400.000 / Ha.


H. Zainal Asikin selaku Ahli Waris Harta Peningggalan Njimas Entjeh, sesungguhnya begitu antusias untuk mendapatkan ganti rugi / imbalan sesuai dengan perhitungan tersebut, hal ini dirasakan sangat wajar mengingat kondisi saat itu nilai yang diberikan oleh Negara memang sudah cukup layak, oleh karena itu upayapun dilakukan dengan mengurus kepada Instansi terkait dengan membawa segala berkas Bukti Kepemilikan yang ada. Namun ternyata (mendapat jawaban) kondisi keuangan Negara sama sekali tidak memungkinkan merealisasikan harapan tersebut.


Gambaran yang lebih faktual dapat diutarakan sbb, bahwa sejak awal tahun 1949 sampai dengan akhir 1956, dalam situasi Sumber Pendapatan Negara yang terbatas, Pemerintah telah melakukan pembelian tanah partikelir tidak kurang dari 11.759 Ha.Apabila menggunakan patokan hasil kalkulasi diatas dapat diperoleh angka: (Cttn: patokan harga sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958 sedikit dibawahnya).

-6-

Rp 122.400.000 X 11.759 = Rp 143.930.160.000.000,-

(hampir 144 trilyun rupiah).

Atau sedikit diatas ratio 12 % dari jumlah RAPBN tahun 2008-2009 dan akan menjadi tandas lagi bila diperbandingkan dengan upaya Pemerintah sekarang dalam pemberian penanganan ganti rugi kepada korban bencana lumpur Lapindo-Sidoarjo yang hanya dibawah 0.1 % saja dari ratio tersebut, faktanya : begitu berlarut larut bahkan sangat ‘kedodoran’ dalam alokasi Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara, walaupun Sumber Pembiayaan sudah didukung Bantuan Luar Negeri.

Dengan alasan tersebut kiranya dapat diestimasikan, sejauh mana kemampuan

Keuangan Negara dalam memenuhi ketentuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, dimana Pemerintah hendak membeli tanah partikelir seluas 28.923 Ha (di Jawa) dan

2.500 Ha (di Sulawesi) dalam waktu lima tahun, akankan mampu dicapai target tersebut ?

Secara matematis atau logika / otak sehat, dapat dijawab dengan mudah :

M u s t a h i l

Dan itulah realitanya.


Sejarahpun mencatat belum setahun Peraturan tersebut berjalan (akhir 1958), populeritas Ir. Soekarno berada pada posisi anti klimaks, karena anjloknya kewibawaan Pemerintah oleh krisis keuangan yang sangat parah (‘agregat’ kelesuan ekonomi memang sangat terasa dipertengahan tahun), akibat konsentrasi keuangan untuk pembelian tanah partikelir sejak tahun 1949, ceritanya akan menjadi lain apabila Pemerintahan Ir. Soekarno memanfaatkan dana tersebut untuk Pembangunan Ekonomi terutama dalam meningkatkan sarana produksi Pertanian dan Menumbuh Kembangkan Dunia Usaha melalui alokasi kredit usaha kecil hingga besar, sebagaimana yang dilakukan Regiem Soeharto. Bahkan kami mencernai adanya korelasi linier (membuat bom waktu) yang dapat terbaca dari bunyi Pasal 8 Ayat 3 : Pembayaran ganti kerugian tersebut pada Ayat 1 sub a Pasal ini dapat dilakukan secara berangsur, paling lama lima tahun dan dalam hal ini kepada pemilik diberikan bunga menurut Undang Undang.


Terhitung persis 5 tahun sejak lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, yaitu tepat pada tahun 1963 situasi ekonomi ‘rontok’, nilai rupiah terhempas pada posisi terparah, devaluasi dilakukan berulangkali tanpa dapat menyelamatkan nilai rupiah, inflasi melambung secara ‘fantastis’ menembus level 670, kebijakan fiskal yang exploitatif tanpa menuai hasil apapun, kecuali semakin terpuruknya rupiah, alhasil Nama besar Soekarno seakan ‘terkubur’ bersamaan runtuhnya perekonomian Nasional.


Ketidak berdayaan Keuangan Negara dalam memenuhi target Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, menjadi alasan pragmatis (solusi) Pemerintah untuk membuka kesempatan kepada pemilik tanah partikelir supaya memberikan kompensasi kepada Negara berupa Kikitir Padjeg Boemi (Jakarta, Jawa Barat) Petuk / Petok / Pethok Padjeg Boemi (Jawa Tengah, Jawa Timur) dan Grant (Sumatera, Sulawesi) sebagai syarat utama untuk tetap disyahkan Haknya atas Aset tanah yang dimilikinya. Inilah latar belakang (fakta hukum) tentang penerbitan Kikitir / Petok Padjeg Boemi dan Grant terhadap Aset tanah yang lebih dari 10 bau ( tanah partikelir ).

Pertanyaan yang perlu di ketengahkan disini, namun akan kami jawab kemudian, adalah:


Relevankah alasan hukumnya, apabila tanah partikelir yang telah dibayar

(sebagai pembelian) dalam bentuk kompensasi (konversi) kepada Negara oleh pemiliknya,

masih di ‘klaim’ sebagai Tanah Negara ?

Marilah kita urai dari fakta hukum tersebut diatas, agar penyelenggara Negara / siapapun yang berasumsi demikian, jangan sampai dianugrahi oleh anak cucu kita dengan menyematkan

Bintang (Maha Karya): ‘P e n g e c u t t e r h a d a p B a n g s a n y a s e n d i r i

(dan akan dicatat dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia)

Dengan kondisi, sikap / kemauan Pemerintah saat itu H. Zainal Asikin mengubur segala keinginan untuk memperoleh ganti rugi / imbalan dari Negara yang cukup besar (dari hasil penjualan tanahnya ), bahkan sebaliknya harus berusaha dalam mendapatkan dana yang

-7-

dibutuhkan guna membayar kompensasi kepada Negara ( Pembelian kedua ), atas segala upaya keras yang dilakukan dari berbagai sumber (pinjaman), akhirnya terhimpun dalam jumlah cukup guna membayar Kikitir / Petok Padjeg Boemi dan Grant terhadap semua Aset yang dimiliki, pada tahun 1958 dan 1959, tepat sesuai kesepakatan dengan Pemerintah (seluruh bukti masih tersimpan dengan baik). Atas dasar pembayaran tersebut maka sejak saat itu juga dinyatakan syah sebagai Hak Milik Adat yang selanjutnya menjadi inspirator / pijakan pembuatan Hukum Tanah Nasional (HTN) di Indonesia.


Kikitir / Petok Padjeg Boemi dan Grant adalah alat bukti kepemilikan (Hak Adat),

yang memenuhi semua standar persyaratan untuk ditingkatkan menjadi

Sertifikat Hak Milik (SHM)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 maupun penggantinya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 24 Ayat 1

(yang isinya sebagaimana diterangkan diatas / Fakta Hukum II)


PENGESAHAN HAK MILIK

(Ketentuan U U P A)


Diiringi situasi krisis ekonomi yang semakin mengerucut, upaya Pemerintah dalam melakukan Reformasi Peraturan Perundangan yang berpijak dengan aspek pertanahan murni keindonesiaan setelah diawali Pemberlakuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, mengalami proses yang cukup alot di Parlemen (DPR Gotong Royong), tidak lain adanya silang pendapat demikian ‘deras’ atas materi bersifat rujukan dari khasanah Ketentuan lama (KUUHPdt) dengan kerangka acuan yang bersumbu pada Hukum Adat.

Topik sentral dalam mengangkat keberadaan Hukum adat inilah yang kemudian menjadi ‘jiwa dan Roh’ kesepahaman pembuatan Peraturan yang baru. Akhirnya pada tanggal 24 September 1960 disyahkanlah Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok Pertanahan ( U U P A ), yang merupakan produk Peraturan Pertanahan yang monumenal dan menjadi ‘kiblat’ semua Peraturan Agraria di Indonesia hingga saat ini.


Materi yang begitu elementer terhadap Hak Kepemilikan kami adalah yang terdapat pada Ketentuan Ketentuan Konversi U U P A Ayat 1:

Hak Eigendom atas tanah yang ada mulai berlakunya Undang Undang ini

sejak saat tersebut menjadi Hak Milik.


Sehingga melalui U U P A ini Bukti Kepemilikan Njimas Entjeh telah menjadi 3 (tiga) pilar/ lapis sekaligus, yakni : Eigendom (Pembelian Pertama), Verponding Indonesia dan Bukti Kompensasi kepada Negara (konversi)berupa Kikitir / Petok Padjeg Boemi dan Grant Sultan

(Pembelian Kedua) yang masing masing dapat dijadikan dasar pembuatan

Sertifikat Hak Milik ( S H M ).


Keberadaan U U P A sebagai Peraturan Pertanahan memiliki dimensi transendental terhadap seluruh aspek Pertanahan Indonesia sehingga pada usianya yang hampir setengah abad tetap relevan sebagai pijakan hukum, walaupun terdapat nuansa untuk dilakukan reformasi, namun tidak akan merubah sendi pokoknya yang memang terdapat kelekatan terhadap Kultur Asli Ke’sejarah’an Indonesia. Adapun keinginan untuk mengganti / me’reduksi’ Peraturan tersebut, sifatnya sekedar melengkapi dari Ketentuan yang dapat menjawab perkembangan zaman. Artinya ‘kesahihan’ Hak Kepemilikan kami akan tetap mencengkeram terhadap Ketentuan Perundangan Indonesia hingga akhir zaman nanti (dengan catatan tidak hadir lagi ‘hegemony’ asing / Kolonial di Bumi Persada Indonesia).

Selain itu Reformasi terhadap U U P A menurut hemat kami adalah sebagai upaya lebih menjernihkan segala permasalahan yang berkembang belakangan ini, yang diakibatkan adanya begitu banyaknya Peraturan Pertanahan yang tidak seluruhnya ber’senergi’ bahkan adanya tumpang tindih nilai yang dibawa (terkesan adanya warna kepentingan untuk kelompok tertentu yang dekat dengan penguasa pada zamannya red) sehingga menimbulkan produk kebijakan yang ‘rancu’.

-8-

Sementara itu Perlakuan Hak Milik atas tanah yang ‘berafiliasi’(‘integralistik’) langsung dengan pemegang Haknya sebagai ‘unifikasi’ yang tidak terpisahkan atas sifatnya sebagai Hak individu, pada materi U U P A Pasal 20 mendapat tempat yang demikian terhormat yakni adanya Ketentuan bahwa Hak Milik dinyatakan berkekuatan ‘turun temurun’ sebagai pembeda dengan hak lainnya (HPL, HGU,HGB dll), demikian halnya dengan unsur dapat ‘diwariskan’ adalah kesatuan atas jiwa kemanusiaan yang bersifat berketurunan.

Disinilah terdapat ‘entitas’ sekaligus hubungan kesenyawaan demikian mendalam sebagai pernyataan bahwa Hak Milik berkedudukan terkuat dan terpadu yang dapat dipunyai orang atas tanah. Dengan coraknya ini Hak Milik mendapat perlindungan hukum sangat kuat dalam U U P A.


Pedoman yang ikut memperkuat hak kepemilikan kamipun mendapat penegasan pada Pasal 24 Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur

dengan Peraturan Perundangan.


Ketentuan ini selaras dengan besarnya pengorbanan dalam memperoleh status Hak Milik atas tanah, disamping itu adanya peletakan dasar sebagai hubungan hukum konkrit yang melekat terhadap sifat ‘Hak’ itu sendiri dan ‘Milik’ dengan unsur ‘terkuat’ nya. Alhasil Hak Milik perseorangan yang telah dinyatakan ‘syah’ sesuai bunyi Undang Undang: ‘Penggunaan oleh bukan pemiliknya ‘dibatasi’ dan ‘diatur’ dengan Peraturan. Oleh karena itu siapapun yang hendak memanfaatkan, menguasai ataupun menerbitkan hak lain diatas tanah milik adalah perbuatan melawan hukum, apabila tidak seijin pemiliknya.


Sisi inilah yang seharusnya digaris bawahi dalam merunut (mengupas tuntas) timbulnya sengketa tanah yang bersifat ‘kasuistik’ saat ini, sebagai akibat ‘pendangkalantersistematis terhadap materi Perundang Undangan demi mewujudkan lahirnya produk kebijakan atas dasar

materi’ (fulus / suap / uang) agar supremasi hukum di Indonesia tidak sekedar ‘retorika’ politik Penguasa, sebagai bentuk mengelabuhi rakyat yang haknya telah ‘diambil alih

(bahasa diperhalusnya: Dijarah)


KASUS HUKUM

(Perampasan Hak Milik)


Tahun 1966 merupakan kejatuhan Ir. Soekarno dalam seluruh tampuk Pemerintahan yang ditandai ‘morat maritnya’ Perekonomian Nasional, namun telah mewarisi produk Peraturan Pertanahan yang sangat ‘prestisius’ berupa U U P A dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958 betapapun tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya akibat situasi moneter yang amat sulit dalam mencapainya. Dalam pada itu Pergantian Kepemimpinan Nasional juga ditandai babakan baru berkenaan dengan perilaku birokrasi dari strata terbawah hingga tertinggi yang sepenuhnya dikendalikan oleh koloni baru bernama ‘uang’. Inilah tonggak sejarah diawalinya carut marut di dunia pertanahan Indonesia yang ‘krusial’ dan menerobos hingga kekelaman dimensi kemanusiaan.


Berhembusnya Kasus Pertanahan diilhami oleh birokrasi yang diisi pejabat militer dan pola militerisme yang berkonotasi otoriter, sehingga melahirkan produk kebijakan yang tidak mengakar kepada aspek keadilan masyarakat bahkan sebaliknya hak hak rakyatlah terangkat untuk dijadikan objekbisnis’ yang menggiurkan untuk ditawarkan kaum ‘berkantong tebal’ (pengusaha) atau hubungan kerabat dan keluarga penguasa.

Lahirnya Hak lain diatas tanah Hak Milik (sertifikat ganda) menjadi fenomena pada masa Pemerintahan Regiem Soeharto, tanpa kecuali terhadap Aset tanah milik Njimas Entjeh, dengan melalui perjuangan yang luar biasa dalam memperoleh Hak Kepemilikan sebagaimana yang telah diterangkan diatas, dimentahkan oleh konspirasi jahat (sindikat) oknum pejabat dengan ‘mafia tanah’ untuk mempermainkan / mengaduk aduk Undang Undang.


Munculah Hak lain mulai dari Girik, Hak Pakai Lahan, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan bahkan Hak Milik yang terbit diatas Aset tanah Milik kami, ironisnya sebagian besar dinyatakan sebagai Milik Negara , sebagian lainnya adanya realita penggarap yang telah

-9-

dipercayai memanfaatkan tanah sebagai lahan pertanian untuk kesejahteraan keluarganya (sebagai motif sosial dari kami), melihat peluang pada sistem birokrasi yang mudah diterobos atas dasar ‘fulus’, hal ini berimbas pada ‘matinya’ hati nurani dalam produk kebijakan yang mengebiri Hak Kepemilikan Kami yang telah dinyatakan ‘sahih’ menurut Undang Undang / fakta hukum dan fakta sejarah. Pada era tersebut upaya kami dalam mempertahankan Haknya telah diperjuangkan semaksimal mungkin sesuai koridor hukum yang berlaku, demikian halnya korban korban lainnya, akan tetapi senantiasa berhadapan dengan kekuatan oknum pejabat yang menggunakan ‘gaya kemiliteran’nya demi meredam usaha keras dalam pengembalian hak kami, bahkan intimidasipun menjadi hal yang ‘kerap’ kami alami.


Inilah tragedi kemanusiaan yang siapapun tidak ingin mengimpikannya apalagi mengalaminya namun realita ini menerpa kami dan serentetan korban pada warga negara

yang jumlahnya beribu-ribu lainnya


Kepemimpinan Soekarno telah meninggalkan warisan Undang Undang Pertanahan

begitu berharga bagi Bangsa dan Negara Indonesia,

sementara Pemerintahan Soeharto yang hengkang oleh rakyatnya sendiri

mewarisi produk kebijakan yang ‘mengharu biru’kan bumi hukum pertanahan

dan meninggalkan beribu ribu kasus tanah bagi Bangsanya,

lantas warisan apa yang kiranya akan diberikan oleh

Pemerintahan sekarang untuk Bangsa yang menanti keadilan ini ?

(Marilah kita ikut mengingatkannya sebagai Rakyat yang telah memilihnya)


Sebelum mengangkat kasus pertanahan tersebut untuk membahas pemecahan hukum, akan lebih baik kami mengutarakan terlebih dahulu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, tentang “Sebelas Agenda Kegiatan” :

Point 1. Membangun kepercayaan masyarakat pada B P N

Point 3. Memastikan Penguatan hak hak rakyat atas tanah

Point 5. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis

Point 9. Melaksanakan secara konsisten semua Peraturan Perundang Undangan Pertanahan yang telah ditetapkan.


Demikian ‘indah’ bunyi Ketentuan yang dibuat oleh pemegang otoritas pertanahan Indonesia, namun apakah pelaksanaannya seindah isi materi ‘maklumat’ tersebut?

Sudah 2 (dua) tahun di’canangkan’ Peraturan ini, akan tetapi secara ‘kasat mata’ baru sebatas ‘pernyataan’, jauh dari harapan kita semua.

Sesuai hukum tata negara dinyatakan bahwa segala produk kebijakan Pemerintah bersifat kemanusian menjadi tanggung jawab moral Pemerintahan sesudahnya, sehingga dalam menangani kasus pertanahan menjadi keharusan mendudukan persoalan sesuai norma hukum yang melekat kepada pemilik awal sesuai kadar prikemanusiaan dan prikeadilan.


Dalam keterkaitannya terhadap membangun kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah yang terpenting adalah mewujudkan ‘Clean Goverment’, dengan membentuk ‘kemauan politik’ yang kuat, sekuat tekad pendiri Bangsa ini dalam melawan kolonialisme. Inilah yang semestinya dikedepankan Pemerintah sekarang, karena ‘tersingkirnya Soeharto’ harus diikuti dengan menyingkirkan ‘budaya korupsi’ yang begitu lekat pada pola Pemerintahannya, itulah tuntutan rakyat. Masih segar diingatan kita tentang predikat sebagai Negara dalam kelompok nomor ‘wahid ter’korup’ di dunia, suatu gelar yang sangat ‘memalukan’ sebagai wujud melawan arus dan melukai hati pendiri bangsa. Pertanyaannya adalah : “Akankah kita mentorerir atau mendiamkan kenyataan sebagai Negara dengan Pemerintahan ter’korup’ sedunia ini ?


PEMECAHAN KASUS HUKUM

(Berdasarkan Hukum Tanah Nasional)


Berangkat dari timbulnya kasus pertanahan yang lahir diluar prosedur hukum yang berlaku sebagaimana dijelaskan diatas, maka perlu kita kupas melalui kaidah Hukum Tanah Nasional

-10-

yang memiliki asas demikian tegas dalam menentukan kepada siapapun termasuk Penguasa/ Pemerintah apabila memerlukan tanah untuk kepentingan individu , perusahaan swasta ataupun kepentingan umum / Negara harus berpijak pada:


A. Penguasaan dan Penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional

B. Penguasaan dan Penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (ilegal) tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (Undang Undang No 51 Prp 1960)

C. Penguasaan dan Penggunaan tanah berlandaskan hak yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi hukum terhadap gangguan dari Pihak manapun baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh Pemerintah sekalipun.

D. Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun termasuk kepentingan umum, perolehan tanah yang sudah di’hak’i seseorang, harus melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan, maupun mengenai ‘imbalannya’ yang merupakan hak dari pemegang hak atas tanah ybs. untuk menerimanya.

E. Dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh siapapun kepada pemegang haknya untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan/atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, karena pemegang hak bagaimanapun berhak untuk menolaknya.

F. Dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika bidang tanah yang bersangkutan diperlukan untuk kepentingan umum dan tidak mungkin digunakan bidang tanah yang lain, sedang muyawarah tidak berhasil mencapai kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan bidang tanah yang bersangkutan, secara paksa (sesuai Undang Undang No. 20 tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak atas tanah dan Benda Benda lain yang ada diatasnya)

G. Dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang hak ybs. berhak atas imbalan, bukan hanya meliputi tanah-bangunan dan tanaman milik pemegang hak atas tanahnya. Melainkan juga kerugian yang dideritanya sebagai akibat penyerahan bidang tanahnya ybs.

H. Betapapun untuk kepentingan umum, pihak yang mempunyai tanah tidak dapat menolak pengambilannya, karena dalam hidup bermasyarakat kepentingan umum harus didahulukan, namun mengenai bentuk dan jumlah imbalan yang ditetapkan oleh Pemerintah, pemilik hak masih diberi kesempatan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang keputusannya mengikat semua pihak ybs.

I. Bentuk dan jumlah imbalan jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan melalui pencabutan hak haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang hak tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun ekonominya.


Berdasarkan ketentuan Hukum Tanah Nasional tersebut, dalam mengurai kasus tanah yang terjadi dalam wilayah Hukum Indonesia sesungguhnya tidaklah terlalu sulit (tergantung bagaimana kesucian hati kita dalam menyelesaikan kasus), mengingat Bukti Hukum yang telah mengikat terhadap Pemilik awal / aslinya itulah yang ‘harus’ menjadi dasar / acuan untuk dibela dan dimenangkan dalam menyelesaikan masalah yang ada, sesuai ‘hakekat kebenaran hukum’ yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk Penguasa / Pemerintah atas dasar apapun. Mengingat dalam proses pengalihan hak, pemegang hak (kami) belum pernah mendapatkan imbalan dalam bentuk apapun. Bahkan lebih dari itu, sesuai Peraturan Hukum yang berlaku: menggunakan dan menguasai tanah bukan miliknya adalah bentuk pelanggaran pidana, hal inipun mengikat kepada oknum pejabat yang terlibat karena menerbitkan hak baru diatas tanah milik orang lain yang telah dinyatakan syah secara hukum.


Demikian halnya dengan fenomena munculnya hak lain diatas Aset tanah milik Njimas Entjeh yang terbit tanpa menyertakan posisi kami sebagai pemilik ‘syah’nya. Segaris dengan ketentuan Hukum Tanah Nasional, kami hendak melakukan upaya hukum semestinya sesuai Undang Undang yang berlaku, agar Hak yang telah diperjuangkan oleh Njimas Entjeh (dan keturunannya termasuk M. Fatkhi Esmar sebagai Ahli Waris terakhirnya, sesuai Ketetapan Pengadilan) dapat dikembalikan sepenuhnya kepada kami. Untuk keperluan itu dibentuklah Njimas Entjeh Foundation yang merupakan Wadah dalam memperjuangkan semua Hak yang kini ‘dijarah’ pihak lain, tanpa mengindahkan aturan normatif dan ketentuan hukum Indonesia.

-11-

Berangkat dari fakta hukum, pengesahan hak milik, kasus hukum dan Ketentuan Undang Undang,

maka dapat kita tarik benang merahnya secara tegas dan tandas, sbb:


Munculnya kerancuan hak kepemilikan yang terjadi sekarang ini, dari Hak Milik Njimas Entjeh atas Aset Tanah yang telah dinyatakan syahsecara hukum

(Ketentuan Ketentuan Konversi UUPA Ayat 1, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan Penggantinya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997)

sepenuhnya berasal dari kesalahan tafsir / salah kaprah yang disengaja atau tidak

oleh oknum pejabat saat itu terhadap kandungan materi hukum

sebagai upaya dalam mempersempit dari maksud besar dibuatnya Undang Undang

(UU No. 1 Tahun 1958)

perbuatan ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan pribadi oknum pelaku yang berkonotasi ‘suap’ dari pihak lain yang memungkinkan ‘praktek memanipulasi’

Undang Undang demi melahirkan hak lain dan menghilangkan hak milik orang lain

( Njimas Entjeh )

(Pelanggaran KUUHP)

adanya usaha memperlakukan hak milik warga masyarakat menjadi

Tanah Negara adalah berlawanan dengan

fakta hukum dan fakta sejarah,

mengingat :

1. Struk bukti pembayaran padjeg boemi sebelum berlakunya U U P A

(Verponding Indonesia),

2. Hak Eigendom milik WNI pribumi yang telah di’konversi’ dalam bentuk Kikitir/Petok padjeg boemi dan Grant Sultan

(sebagai kompensasi / pembelian kepada Negara)

adalah alat bukti konversi yang ‘syah’ sebagai

Hak Milik Adat

yang semuanya memenuhi segala persyaratan untuk penerbitan

Sertifikat Hak Milik

(Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan penggantinya

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997)

Dengan berpijak pada ke’sahih’an bukti kepemilikan dimaksud, dan atas dasar kekuatan hukum yang melekat terhadap pemiliknya,

(Ketentuan Ketentuan Konversi UUPA Ayat 1, UUPA Pasal 20 dan 24)

selanjutnya muncul hak-hak lain dengan tanpa melalui

mekanisme prosedur hukum semestinya,

dalam bentuk pemberian ganti untung / imbalan kepada pemilik ‘syah’nya

maka hak yang timbul kemudian adalah ‘c a c a t h u k u m’ ( i l e g a l )

(Hukum Tanah Nasional)

maka h a r u s b a t a l d e m i h u k u m.

Hal ini sebagai konsekuensi logis atas segala pelanggaran Peraturan yang berlaku sekaligus bentuk perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan

yang merupakan Hak Azasi manusia

(Amandemen UUD 1945 Pasal 28 H Ayat 4)

dimana hak pribadi dan hak Milik tidak dapat diganggu gugat

oleh siapapun secara sewenang wenang

(Undang Undang No 39 Tahun 1999)

Berdasarkan hukum positif yang kita anut,

barang siapa yang bersalah harus dihukum

sesuai dengan Ketentuan Undang Undang

(Undang Undang No 51 Prp Tahun 1960 dan KUUHP)

karena akibat kesalahannya, Pihak lain (Njimas Entjeh) dirugikan.

Dan atas nama hukum yang berkeadilan,

Aset Tanah harus dikembalikan

kepada pemilik aslinya

(Njimas Entjeh)

Ketentuan ini bersifat mengikat semua pihak

-12-

Demi mewujudkan ‘supremasi hukum’ di Indonesia maka kepada Pemerintah Republik Indonesia dan semua komunitas pertanahanharustaat asas dan taat terhadap segala ketentuan hukum yang berlaku, dan oleh karena itu semua pihakwajibmenghormati hak milik yang telah melekat kepada pemilik awal / aslinya. Dengan dasar adanya kerancuan hak yang timbul kemudian sifatnya ‘ilegal’ atau ‘haram, sebagai umat beragama mengetahui, bentuk larangan yang sifatnya ‘haram adalah sinonim dengan ‘dosa’ dan bagi siapapun yang melakukan perbuatan ‘dosa’ harus ‘dihukum sesuai kadar kesalahannya.

Kembali ke nilai ‘sosial’ yang merupakan warisan luhur dari Njimas Entjeh, kamipun berlapang dada dalam mensikapi realitas permasalahan yang timbul akibat ‘kebejadan’ moral oknum dimaksud, sebagai bentuk kekilafan manusia yang tidak luput dari perbuatan ‘dosa’, betapapun hukum harus tetap ditegakan, kami sebagai umat Allah yang menjunjung tinggi nilai nilai ajaran Agama, bersama ini bersedia untuk membuat Akta Perdamaian yang saling menguntungkan kepada Pihak yang saat ini menguasai Aset tanah milik kami baik secara fisik maupun atas dasar hak ‘ilegal’ yang dimilikinya. Agar adanya kepastian hukum dan kemurnian ‘status’ hukum atas Aset dimaksud.


Dengan diringi Lagu Kebangsaan Maju Tak Gentar:

Maju Tak Gentar, Membela yang Benar

Maju Tak Gentar, Hak Kita tak Diserang

Maju Serentak, Mengusir Penyerang

Maju Serentak, Tentu Kita Menang

Sebagai spirit dalam kebersatuan kita melakukan Aksi Moral Kebangsaan

untuk terus maju tanpa mengenal menyerah membela yang benar

Dengan menyebut Asma Allah sebagai Lambang Kebenaran

dan ucapan

Bismillah irohman nirrohim

Marilah kita benahi segala ‘kebobrokan mental’ bangsa yang teramat parah ini

Demi Indonesiaku

Indonesia yang tahu jati dirinya, Indonesia yang bermartabat dan berkeadilan sosial

Kami mengajak semua pihak

untuk meluruskan tugas sejarah yang terputus dari ‘roh kemanusiaan’

semua harus kita perjuangkan dan wujudkan

Demi Anak Cucu Kita, dan

Kemenangan Indonesiaku.


Demikian Dasar Hukum Kepemilikan Njimas Entjeh Siti Aminah (Osah) disusun sebagai usaha dalam memperbaiki ‘kharakter bangsa’ Indonesia, sekaligus bentuk ‘ajakan’ semua pihak yang berkepentingan terhadap masalah pertanahan, agar melakukan ‘aksi moral kebangsaan’ dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang jauh dari prikemanusiaan dan prikeadilan.

Terima kasih


Jakarta, 10 Oktober 2008

Hormat kami,

Njimas entjeh Foundation






Drs. Pungkas Indio Akt. SH

Legal Officer


Tembusan, Kepada Yth:

1. Ketua Dewan Penasehat dan Pembina Njimas Entjeh Foundation

2. Ketua Umum Njimas Entjeh Foundation

3. Arsip